Mencoba ikut nimbrung gan kalo dileat yang jadi permasalahannya dlihat dari sudut pandang agama Islam ya gan. Kalo menurut saya seh kalo berhutang seh boleh aja gan kalo sesuai dengan syariat islam asalkan tidak riba dan sudah ada kesepakatan antar kedua belah pihak sedangkan penggunaan bitcoin atau cryto sebagai alat utangnya ini yang saya belum tau dibolehkan atau tidaknya gan soalnya pendapat ulama bisa saja berbeda ada yang mengharamkan ada yang membolehkan dengan syarat (
https://www.google.co.id/amp/s/m.liputan6.com/amp/3227564/penjelasan-ketua-komisi-dakwah-mui-soal-hukum-bitcoin )
Kalo masalah perubahan nilai dalam berhutang menurut agama islam
Misalnya, Pak A berutang pada Pak B sebesar 100 ribu rupiah, dengan jatuh tempo setelah tiga bulan. Pada saat berutang, mata uang 5 ribu rupiah senilai dengan satu dollar USA, harga emas ketika itu 50 ribu per gram. Namun, pada saat utang jatuh tempo, nilai tukar rupiah berubah: 10 ribu rupiah senilai dengan satu dollar, dan harga emas per gram adalah 100 ribu rupiah.
Ketika hendak melunasi utang, apakah Pak A harus menyesuaikannya dengan perubahan nilai tukar dollar dengan rupiah dan harga emas di pasaran, ataukah berpatokan dengan jumlah rupiah yang dahulu dia terima? Temukan jawabannya dari uraian berikut ini.
Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, uang kertas belum dikenal. Alat pembayaran transaksi ketika itu adalah dengan menggunakan emas dan perak. Yang terbuat dari emas disebut dinar, sedangkan yang terbuat dari perak disebut dirham. Satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, sedangkan 1 dirham sama dengan 2,975 gram perak.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa ketentuan syar’i yang berlaku untuk mata uang kertas itu sama persis dengan ketentuan untuk dinar dan dirham.
Majma’ Fikih Islami, yang bernaung di bawah OKI, dalam keputusannya no. 9 yang merupakan hasil muktamar Majma’ yang ketiga, menegaskan bahwa, “Uang kertas itu dinilai sebagai mata uang dan memiliki fungsi sebagai alat pembayaran secara sempurna. Oleh karenanya, berlaku padanya ketentuan-ketentuan syar’i yang berlaku untuk emas dan perak, baik dalam masalah riba, zakat, transaksi salam, dan ketentuan yang lain.”
Adapun terkait dengan pelunasan utang, muktamar kelima Majma’ Fikih Islami yang diadakan di Kuwait pada bulan Desember 1988 mengeluarkan keputusan yang ke-42, sebagai berikut:
“Yang menjadi tolak ukur pelunasan utang yang diterima dengan menggunakan mata uang tertentu adalah semisal jumlah uang yang diterima dengan mata uang tersebut, tidak dengan nilai mata uang itu, karena utang itu dilunasi dengan yang semisal ketika diterima. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengaitkan utang dalam mata uang tertentu dengan harga mata uang tersebut.”
Penjelasan tentang dalil yang menjadi pijakan dalam masalah ini bisa kita jumpai dalam penjelasan salah seorang ulama yang berasal dari Yaman, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i. Beliau pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Seseorang berutang sejumlah uang, kemudian nilai mata uang naik, maka apakah debitur ini harus membayar dengan jumlah pertama ataukah dengan jumlah saat mata uang tersebut naik?”
Jawaban beliau, “Dia harus membayar sesuai dengan jumlah yang diambilnya, sedangkan naik atau turunnya nilai mata uang tersebut tidaklah berpengaruh pada utangnya. Misalnya ada orang yang berutang satu juta rupiah. Ketika berutang, nilai satu juta sama dengan US$ 150. Kemudian, ketika dia hendak membayar utang, nilai satu juta sama dengan US$ 100. Maka, kita katakan bahwa dia harus membayar satu juta rupiah sebagaimana yang telah diambilnya, sedangkan turunnya nilai mata uang tidak teranggap dalam hal ini.
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, yang sanadnya lemah tapi maknanya benar menurut mayoritas ulama, (yaitu hadits) tentang penukaran mata uang, yang makna hadits tersebut adalah, ‘Tukar-menukar dinar diperbolehkan jika dengan harga saat itu (yaitu saat diambil).'”
Dari potongan hadits ini, para ulama mengambil dua kesimpulan hukum:
Kesimpulan pertama. Jika dibayar dengan mata uang yang sama dengan saat berutang, maka jumlah harus tetap demikian, tanpa menimbang bertambah dan berkurangnya nilai mata uang tersebut.
Adapun, jika seseorang berutang sebesar 100 real saudi (yang saat itu senilai dengan 200 ribu rupiah), lalu dia akan melunasi utangnya saat nilainya telah berubah, maka dia boleh membayar sebesar 100 real itu sendiri atau dengan rupiah senilai 100 real pada saat sekarang.
Dalam masalah seperti ini, sepatutnya disadari bahwa siapa saja yang membantu orang lain dengan mengutanginya, maka dia harus siap menerima risiko pemberian utang tersebut. Misalnya, terjadi perubahan nilai mata uang atau yang berutang dalam kesempitan finansial, maka orang yang mengutangi harus rela untuk memberi tempo sampai orang tersebut memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya.
Persoalan ini telah dijawab sebagaimana jawaban di atas, oleh guru kami Syekh Ubaid al-Jabiri, ketika mata uang Yaman jatuh.
Kesimpulan kedua. Ketika mata uang yang digunakan selama ini tiba-tiba dicabut dari peredaran, maka negara berkewajiban untuk menetapkan nilai mata uang yang dicabut tersebut saat ini.
Dahulu, Yaman Selatan menggunakan mata uang dinar dan dirham, sedangkan Yaman Utara menggunakan mata uang real. Ketika dinar dan dirham dicabut dari peredaran secara resmi, sehingga seluruh Yaman menggunakan Real Yaman, maka orang-orang yang menanggung utang dengan dinar melunasinya dengan menggunakan Real, berdasarkan penetapan negara untuk nilai dinar yang menjadi kewajibannya. Dalam kondisi semacam ini, pemerintah memiliki peranan penting untuk meniadakan sengketa di antara rakyatnya.” (Bingkisan Ilmu dari Yaman, hlm. 240–242)
Hadits yang beliau maksudkan adalah hadits berikut ini.
Dari Ibnu Umar, “Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, tunggu sebentar. Aku hendak bertanya. Aku menjual unta di Baqi’. Aku jual dengan dinar, namun aku ambil dengan dirham. Kadang, aku jual dengan harga dirham, namun aku ambil dalam bentuk dinar. Aku ambil ini dari itu, dan aku ambil itu dari ini.’ Rasulullah bersabda, ‘Tidak apa-apa jika engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu, selama engkau tidak berpisah dengan pembeli dalam keadaan ada uang belum diserahkan.'” (Hr. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Hakim; dinilai shahih oleh Hakim. Lihat Bulughul Maram, no. 682)
Imam Hakim mengatakan, “Shahih menurut kriteria Imam Muslim.” Pernyataan beliau ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Di samping itu, hadits di atas dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinilai hasan oleh as-Subki dalam Takmilah Majmu’.
Ringkasnya, Syekh Abdullah al-Bassam mengatakan, “Hadits ini berstatus hasan.” (Taudhih al-Ahkam: 4/297, Maktabah Asadi)
Jadi, di samping ada yang menilai lemah terhadap hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdullah al-Mar’i di atas, tidak sedikit pula ulama yang menilai hadits tersebut sebagai hadits yang kuat, baik dengan kualitas shahih ataupun dengan kualitas hasan.
Terkait dengan pelunasan utang dengan mata uang yang berbeda, maka pada asalnya pelunasan utang itu dengan penggunaan mata uang yang sama dengan ketika menerima utang, karena orang yang berutang itu tidak memiliki kewajiban kecuali mata uang yang pernah dia terima.
Termasuk yang terlarang adalah adanya kesepakatan antara pemberi utang dan penerima utang agar pelunasan menggunakan mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dulu diterima. Terdapat keputusan Majma’ Fikih Islami berkaitan dengan larangan ini, sebagaimana keputusan no. 75.
Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan di awal namun semata-mata kerelaan yang melunasi utang, maka tidak mengapa, asalkan dengan harga pada hari ini, sebagaimana penjelasan di atas.
Sebagai solusi, ketika dikhawatirkan bahwa nilai suatu mata uang akan jatuh, maka transaksi utang-piutang bisa dilakukan dengan menggunakan mata uang lain yang relatif lebih stabil, dengan emas atau perak, bisa juga dengan barang dagangan yang relatif tidak terpengaruh dengan inflasi. Namun, pelunasan utang disyaratkan dilakukan dengan barang semisal ketika dulu diterima.
Jadi, tidak boleh mengaitkan utang dengan berbagai faktor di luar utang, semisal harga emas atau perak, nilai mata lain, tingkat suku bunga, harga BBM, dan lain-lain. Hal ini tidak diperbolehkan, dengan dua alasan:
Hal tersebut menyebabkan spekulasi dan ketidakjelasan yang keterlaluan karena kedua belah pihak tidak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga salah satu syarat sahnya transaksi, yaitu kejelasan, menjadi tidak terpenuhi.
Jika yang menjadi kaitan utang tersebut harganya cenderung naik, maka akan terjadi ketidaksamaan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dibayarkan. Jika ini menjadi kesepakatan di awal transaksi, maka terjadilah riba.(
https://pengusahamuslim.com/1782-bila-nilai-uang-berubah.html )
Jadi semuanya tergantung bagaimana anda meyakininya karena setiap orang kalo melihat dari sudut pandang agama bisa berbeda beda dan bagaimana menjalin kesepakatan dengan orang yang berhutang atau penghutang . Mohon maaf jika ada salah gan karena ilmu agama saya juga masih kurang jadi hanya bisa membantu dengan mencari informasi aja.