Masih ingat kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)? Kasus korupsi yang mencatatkan rekor tertinggi penyebab kerugian negara.
Kasus ini tidak lepas dari buruknya sistem keuangan pada masa itu. Pemerintah seperti tidak memiliki kemampuan untuk menilai kesehatan perbankan nasional.
Saat itu, di era orde baru, banyak konglomerat Indonesia mendirikan bank untuk mendapatkan tambahan modal. Syaratnnya, cukup membuat dan menyerahkan laporan keuangan sebagus mungkin. Kenyataannya, belum tentu sesuai dengan riilnya.
Ketika berhasil mendirikan bank, pemilik bank mengambil dana pihak ketiga, dalam hal ini duit masyarakat, untuk kegiatan usaha lainnya. Tentu tanpa sepengetahuan si nasabah.
Kenapa bisa begitu? karena perbankan menggunakan sistem sentralisasi. Maksudnya, ketika Anda memiliki akun di sebuah bank, maka informasi akun seperti jumlah saldo, riwayat transaksi, dan informasi lainnya, hanya diketahui pemilik akun dan pihak bank. Sementara uang yang tersimpan, sepenuhnya dikuasai oleh pihak bank.
Anda tidak pernah mengetahui uang yang Anda simpan di bank digunakan untuk apa saja oleh pihak bank.
Ketika terjadi krisis pada 1998, usaha para pemilik bank bangkrut. Singkat cerita, akhirnya bank tidak mampu membayar uang masyarakat. Lantas, agar tidak menimbulkan gejolak, pemerintah memberikan bantuan dana. Inilah BLBI.
Jumlahnya banyak, Rp 140 triliun untuk 48 bank yang bermasalah. Parahnya lagi, dana BLBI diperoleh dari pajak - duit masyarakat juga.
Tapi, alih-alih buat menyehatkan perbankan, dana BLBI justru ditilep oleh pemilik banknya. Rata-rata sembunyi di luar negeri, kebanyakan di Singapura.
Karena sistem perbankan yang sentralistik itu, masyarakat pun tidak memiliki kemampuan untuk mengakses informasi atas dananya sendiri. Tidak bisa berbuat apa-apa. Cuma bisa menonton uangnya dirampas segelintir konglomerat tak bertanggungjawab.
Hingga kini, pajak masyarakat jualah yang digunakan untuk membayar cicilan bunga obligasi rekap dari BLBI tadi, sebesar Rp 60 triliun per tahun. Adil kah itu? Pastinya tidak.
Meski kini syarat mendirikan bank diperketat, tapi narasi kasus BLBI kerap menjadi pendorong wacana ‘melawan sistem keuangan sentralistik’.
Wacana itu pula yang menguatkan kehadiran sistem baru bernama Blockchain. Sebuah sistem basis data (database) yang terdesentralisasi, serba transparan. Konon, bisa mengancam sistem perbankan dunia yang sudah eksis.
Sumber :
http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/5b25PdMN-blockchain-kawan-atau-lawan Blokchain adalah sistem untuk menampung dana seperti VIP Bitcoin, hanya saja VIP Bitcoin menampung coin dan dibeli dengan mata uang negara kita sendiri, sedangkan blokchain berbeda, semua mata uang dan coin dikonversi kesana dan rumus dari blokchain menggunakan matematika full berbeda dengan Bank yang menggunakan setengah matematika, setengah akutansi dan politik keuangan