Sistem pembelajaran kita secara keseluruhan masih dianggap sebagai sistem yang memberikan nilai, bukan pembentukan diri, karakter, imajinasi, dan keberanian untuk gagal. Di beberapa negara, pendidikan berbasis karakter dan kewirausahaan telah mengembangkan budaya kewirausahaan di mana siswa dilatih untuk menantang diri sendiri, menjadi inovatif, belajar dari kesalahan mereka tanpa merasa bersalah. Di Indonesia, peluang ini melekat pada kemampuan siswa untuk bersekolah dengan sistem pengajaran progresif, yang hanya tersedia di beberapa lembaga. Akibatnya, sebagian besar siswa belajar kepatuhan yang lebih sering mengarah pada pembentukan pola pikir pekerja daripada aktor yang membuat keputusan.
....
saya setuju dengan apa yang agan katakan kalau sistem pembelajaran kita itu lebih berdasarkan kepada pemberian nilai, artinya para siswa hanya diberikan soal dan kemudian guru akan menilai bahwa apakah jawaban dia itu benar atau tidak sesuai dengan apa yang mereka pelajari. padahal apa yg dibutuhkan oleh para siswa adalah bagaimana mereka bisa dilatih dalam hal inovasi, pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan tanggung jawab. Itu secara langsung bisa membentuk pemikiran para siswa menjadi lebih cekatan dalam hal mengambil keputusan untuk berwirausaha dan tidak hanya terpaku kepada ijazah untuk melamar pekerjaan. belum lagi faktor lingkungan keluarga yg memaksa si anak untuk main aman saja menjadi pekerja kantoran atau PNS.
makanya kita tidak perlu heran bahwa sekarang ini lebih banyak lulusan SMA atau sarjana lebih memilih melamar kerja di perusahaan, dibandingkan dengan mencari peluang bisnis, karena dari awal mereka sudah dibentuk pola pikirnya untuk menjadi pekerja. berbeda dengan orang-orang dari suku tertentu yg lebih dominan membuka bisnis, karena di sekolah dan dirumah mereka diajarkan hal-hal bagus yg membentuk pola pikir wirausahanya.